Kamis, 15 Maret 2012

KH. Gus Maksum Sang Pendekar



Sang Pendekar Pagar Nusa
Pondok Pesantren dulunya tidak hanya mengajarkan ilmu agama dalam
pengertian formal-akademis seperti sekarang ini, semisal ilmu tafsir, fikih,
tasawuf, nahwu-shorof, sejarah Islam dan seterusnya. Pondok pesantren juga
berfungsi sebagai padepokan, tempat para santri belajar ilmu kanuragan dan
kebatinan agar kelak menjadi pendakwah yang tangguh, tegar dan tahan uji.
Para kiainya tidak hanya alim tetapi juga sakti. Para kiai dulu adalah
pendekar pilih tanding.
Akan tetapi belakangan ada tanda-tanda surutnya ilmu bela diri di pesantren.
Berkembangnya sistem klasikal dengan materi yang padat, ditambah eforia
pembentukan standar pendidikan nasional membuat definisi pesantren kian
menyempit, melulu sebagai lembaga pendidikan formal.
Para ulama-pendekar merasa gelisah. H Suharbillah, seorang pendekar dari
Surabaya yang gemar berorganisasi menemui KH Mustofa Bisri dari Rembang dan
menceritakan kekhawatiran para pendekar. Mereka lalu bertemu dengan KH Agus
Maksum Jauhari Lirboyo alias Gus Maksum yang memang sudah masyhur di bidang
beladiri. Nama Gus Maksum memang selalu identik dengan “dunia persilatan”.
Pada tanggal 12 Muharrom 1406 M bertepatan tanggal 27 September 1985
berkumpulah mereka di pondok pesantren Tebuireng Jombang, Jawa Timur, untuk
membentuk suatu wadah di bawah naungan Nahdlatul Ulama (NU) yang khusus
mengurus pencak silat. Musyawarah tersebut dihadiri tokoh-tokoh pencak silat
dari daerah Jombang, Ponorogo, Pasuruan, Nganjuk, Kediri, serta Cirebon,
bahkan dari pulau Kalimantan pun datang.
Musyawarah berikutnya diadakan pada tanggal 3 Januari 1986, di Pondok
Pesantren Lirboyo Kediri, Jawa Timur, tempat berdiam Sang Pendekar, Gus
Maksum. Dalam musyawarah tersebut disepakati pembentukan organisasi pencak
silat NU bernama Ikatan Pencak Silat Nahdlatul Ulama “*Pagar Nusa*” yang
merupakan kepanjangan dari “*Pagarnya NU dan Bangsa.*” Kontan para
musyawirin pun menunjuk Gus Maksum sebagai ketua umumnya. Pengukuhan Gus
Maksum sebagai ketua umum Pagar Nusa itu dilakukan oleh Ketua Umum PBNU KH.
Abdurrahman Wahid dan Rais Aam KH. Ahmad Sidiq.
Gus Maksum lahir di Kanigoro, Kras, Kediri, pada tanggal 8 Agustus 1944,
salah seorang cucu pendiri Pondok Pesantren Lirboyo KH Manaf Abdul Karim.
Semasa kecil ia belajar kepada orang tuanya KH. Abdullah Jauhari di
Kanigoro. Ia menempuh pendidikan di SD Kanigoro (1957) lalu melanjutkan ke
Madrasah Tsanawiyah Lirboyo, namun tidak sampai tamat. Selebihnya, ia lebih
senang mengembara ke berbagai daerah untuk berguru ilmu silat, tenaga dalam,
pengobatan dan kejadukan (*Dalam “Antologi NU” terbitan LTN-Khalista
Surabaya*).
Sebagai seorang kiai, Gus Maksum berprilaku *nyeleneh* menurut adat
kebiasaan orang pesantren. Penampilannya nyentrik. Dia berambut gondrong,
jengot dan kumis lebat, kain sarungnya hampir mendekati lutut, selalu
memakai bakiak. Lalu, seperti kebiasaan orang-orang “jadug” di pesantren,
Gus Maksum tidak pernah makan nasi alias *ngerowot*. Uniknya lagi, dia suka
memelihara binatang yang tidak umum. Hingga masa tuanya Gus Maksum
memelihara beberapa jenis binatang seperti berbagai jenis ular dan unggas,
buaya, kera, orangutan dan sejenisnya.
Dikalangan masyarakat umum, Gus Maksum dikenal sakti mandaraguna. Rambutnya
tak mempan dipotong (konon hanya ibundanya yang bisa mencukur rambut Gus
Maksum), mulutnya bisa menyemburkan api, punya kekuatan tenaga dalam luar
biasa dan mampu mengangkat beban seberat apapun, mampu menaklukkan jin,
kebal senjata tajam, tak mempan disantet, dan seterusnya. Di setiap medan
laga (dalam dunia persilatan juga dikenal istilah sabung) tak ada yang
mungkin berani berhadapan dengan Gus Maksum, dan kehadirannya membuat para
pendekar aliran hitam gelagapan. Kharisma Gus Maksum cukup untuk
membangkitkan semangat pengembangan ilmu kanuragan di pesantren melalui
Pagar Nusa.
Sebagai jenderal utama “pagar NU dan pagar bangsa” Gus Maksum selalu sejalur
dengan garis politik Nahdlatul Ulama, namun dia tak pernah terlibat politik
praktis, tak kenal dualisme atau dwifungsi. Saat kondisi politik memaksa
warga NU berkonfrontasi dengan PKI Gus Maksum menjadi komandan penumpasan
PKI beserta antek-anteknya di wilayah Jawa Timur, terutama karesidenan
Kediri. Ketika NU bergabung ke dalam PPP maupun ketika PBNU mendeklarasikan
PKB, Gus Maksum selalu menjadi jurkam nasional yang menggetarkan podium.
Namun dirinya tidak pernah mau menduduki jabatan legislatif ataupun
eksekutif. Pendekar *ya *pendekar! Gus Maksum wafat di Kanigoro pada 21
Januari 2003 lalu dan dimakamkan di pemakaman keluarga Pesantren Lirboyo
dengan meninggalkan semangat dan keberanian yang luar biasa.

Habib Zain Bin Ibrahim Smith



Habib Zain lahir di ibukota Jakarta pada  tahun 1357 H/1936 M. Ayahnya Habib Ibrahimadalah ulama besar di bumi Betawi kala itu, selain keluarga, lingkungan tempat di mana mereka tinggal pun boleh dikatakan sangat religius.
Guru-gurunya ialah Habib Muhammad bin Salim bin Hafiz, Habib Umar bin Alwi al-Kaf, Al-Allamah Al-Sheikh Mahfuz bin Salim, Sheikh Salim Said Bukayyir Bagistan, Habib Salim bin Alwi Al-Khird, Habib Ja’far bin Ahmad Al-Aydrus, Habib Muhammad Al-Haddar (mertuanya).
pada usia empat belas tahun (1950), ayahnya memberangkatkan
Habib Zain ke Hadramaut, tepatnya kota Tarim. Di bumi awliya’ itu Habib  Zain tinggal di rumah ayahnya yang telah lama ditinggalkan.
Menyadari mahalnya waktu untuk disia-siakan, Habib Zain berguru kepada
sejumlah ulama setempat, berpindah dari madrasah satu ke madrasah
lainnya, hingga pada akhirnya mengkhususkan belajar di ribath Tarim.
Di pesantren ini nampaknya Habib Zain merasa cocok dengan keinginannya.
Di sana ia memperdalam ilmu agama, antara lain mengaji kitab ringkasan
(mukhtashar) dalam bidang fikih kepada Habib Muhammad bin Salim bin
Hafidz, di bawah asuhan Habib Muhammad pula, Habib Zain berhasil menghapalkan
kitab fikih buah karya Imam Ibn Ruslan, “Zubad”, dan “Al-Irsyad” karya
Asy-Syarraf Ibn Al-Muqri.
Tak cukup di situ, Habib Zain belajar kitab “Al-Minhaj” yang disusun oleh
Habib Muhammad sendiri, menghapal bait-bait (nazham) “Hadiyyah
As-Shadiq” karya Habib Abdullah bin Husain bin Thahir dan lainnya.
Dalam penyampaiannya di Tarim beliau sempat berguru kepada sejumlah
ulama besar seperti Habib Umar bin Alwi Al-Kaf, Syekh Salim Sa’id
Bukhayyir Bagitsan, Habib Salim bin Alwi Al-Khird, Syekh Fadhl bin
Muhammad Bafadhl, Habib Abdurrahman bin Hamid As-Sirri, Habib Ja’far bin
Ahmad Al-Aydrus, Habib Ibrahim bin Umar bin Agil dan Habib Abubakar
bin Abdullah  Al-Atthas.
Selain menimba ilmu  di sana Habib Zain banyak mendatangi majlis para
ulama demi mendapat ijazah, semisal Habib Muhammad bin Hadi Assaqof,
Habib Ahmad bin Musa Al-Habsyi, Habib Alwi bin Abbas Al-Maliki,
Habib Umar bin Ahmad bin Smith, Habib Ahmad Masyhur bin Thaha
Al-Haddad, Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assaqof dan Habib Muhammad bin
Ahmad Assyatiri. Melihat begitu banyaknya ulama yang didatangi, dapat
disimpulkan, betapa besar semangat Habib Zain dalam rangka merengkuh ilmu
pengetahuan agama, apalagi melihat lama waktu beliau tinggal di sana,
yaitu kurang lebih delapan tahun.
kemudian salah seorang gurunya bernama Habib
Muhammad bin Salim bin Hafidz menyarankannya pindah ke kota Baidhah,
salah satu wilayah pelosok bagian negeri Yaman, untuk mengajar di ribath
sekaligus berdakwah. Ini dilakukan menyusul permohonan mufti
Baidhah, Habib Muhammad bin Abdullah Al-Haddar.
Dalam perjalanan ke sanaHabib Zain singgah dulu di kediaman seorang
teman dekatnya di wilayah Aden, Habib Salim bin Abdullah Assyatiri,
yang saat itu menjadi khatib dan imam di daerah Khaur Maksar, disana
Habib Zain tinggal beberapa saat.
Selanjutnya Habib Zain melanjutkan perjalanannya
di Baidhah, Habib Zain pun mendapat sambutan hangat dari sang
tuan rumah Habib Muhammad Al-Haddar, di sanalah untuk pertama kali ia
mengamalkan ilmunya lewat mengajar.
Habib Zain menetap lebih dari 20 tahun di Rubath Baidha’ menjadi khadam ilmu kepada para penuntutnya, beliau juga menjadi mufti dalam Mazhab Syafi’e. Setelah itu beliau berpindah ke negeri Hijaz
selama 12 tahun, Habib Zain telah bersama-sama dengan Habib Salim Assyatiri menguruskan Rubath di Madinah,Setelah itu Habib Salim telah berpindah ke Tarim Hadhramaut untuk menguruskan Rubath Tarim.
Habib Zain di Madinah diterima dengan ramah, muridnya banyak dan terus bertambah, dalam kesibukan mengajar dan usianya yang juga semakin meningkat, keinginan untuk terus menuntut ilmu tidak pernah pudar.
Beliau mendalami ilmu Usul daripada Sheikh Zay dan Al-Syanqiti Al-Maliki. Habib Zain terus menyibukkan diri menuntut dengan Al-Allamah Ahmad bin Muhammad Hamid Al-Hasani dalam ilmu bahasa dan Ushuluddin.
Habib Zain seorang yang tinggi kurus. Lidahnya basah, tidak henti berzikrullah. Beliau sentiasa menghidupkan malamnya. Di waktu pagi Habib Zain keluar bersolat Subuh di Masjid Nabawi. Beliau beriktikaf di Masjid Nabawi sehingga matahari terbit, setelah itu beliau menuju ke Rubath untuk mengajar. Majlis Rauhah setelah asar sehingga maghrib. 

Tahlil, Talqin, Ziarah : Aktifitas Padat Hujjah



Judul: Yang Hidup Memberi – Yang Mati Menerima
Penulis: Faishal Murad Ali Ridha
Penerjemah: Muhammad Ahmad Vad’aq
Penerbit: Ponpes Al-Khairat, Pengasinan, Bekasi, Juli 2009
Tebal: 90 hlm. (80 + halaman Romawi)


Tebarkan salam sesuai perintah Nabi SAW dan beri saudaramu senyuman manis, agar kita dapat hidup lebih rukun. Hingga akhirnya setan akan sedih melihat kita hidup dalam kebersamaan, karena tugas utama setan adalah menebarkan permusuhan di tengah-tengah umat.
”Sungguh menyenangkan apabila kita sebagai umat Muhammad SAW hidup dengan damai, rukun, tenteram, bersatu padu menegakkan agama ini. Kalaupun ada perbedaan pendapat, selayaknya disikapi dengan santun dan penuh etika, bukan dengan sumpah serapah dan saling mencela, apalagi sampai menyesatkan sesama muslimin.”
Demikian di antara yang disampaikan Ustadz Muhammad bin Ahmad Vad’aq, dalam kata pengantarnya selaku penerjemah kitab Al-‘Ulama’ wa Aqwaluhum fi Sya’ni Al-Amwat wa Ahwalihim, karya Faishal Murad Ali Ridha.
Ia juga menuturkan, buku yang dalam edisi terjemahannya ini diberi judul Yang Hidup Memberi – Yang Mati Menerima amat layak dibaca, mengingat penulisnya hanya mengambil referensi dari para ulama yang hampir-hampir tak pernah tersentuh hujatan semacam syirik ataupun bid’ah dari pihak-pihak yang selalu menghakimi dan lantang menyalahkan para ulama dengan hujatan sejenis itu.
Mereka adalah tiga ulama termasyhur di kalangan para pembaharu pemikir Islam saat ini, yaitu Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah, Syaikh Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, dan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.
Sampainya Hadiah PahalaSejumlah isu keagamaan yang cukup sensitif selama ini, misalnya tentang sampainya pahala yang dihadiahkan oleh seorang yang masih hidup kepada mereka yang telah wafat, sebagaimana yang biasa dilakukan pada saat prosesi tahlil, talqin, atau ziarah, ternyata bukan saja tidak mendapat penentangan yang keras dari ketiga ulama rujukan para penentang keras prosesi-prosesi itu sendiri, tapi bahkan seakan mendapatkan legitimasi atas kebenaran pelaksanaannya.
Tengok saja pendapat Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah mengenai masalah itu, yang berada di pembahasan Pasal Kelima.
“Bacaan Al-Quran, sedekah, dan lainnya adalah amal kebaikan. Tidak terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama Ahlussunnah wal Jama’ah bahwa pahala ibadah harta seperti sedekah dan membebaskan hamba sahaya sampai kepada orang yang telah meninggal dunia, sama seperti sampainya doa, istighfar, shalat jenazah, dan doa di makam.
Terdapat perbedaan pendapat dalam masalah ibadah fisik seperti puasa, shalat, dan bacaan Al-Quran. Pendapat yang benar bahwa semua balasan pahalanya sampai kepada orang yang telah meninggal dunia.
Disebutkan dalam kitab Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim, dari Rasulullah SAW, beliau bersabda, ’Barang siapa meninggal dunia dan ia masih memiliki kewajiban puasa, walinya melaksanakan puasa untuknya.’
Juga disebutkan dalam hadits shahih bahwa ada seorang wanita yang ibunya meninggal dunia, sedangkan ibunya itu masih memiliki utang kewajiban berpuasa, maka Rasulullah SAW memerintahkan wanita itu agar berpuasa untuk ibunya.
Dalam kitab Al-Musnad disebutkan dari Rasulullah SAW, beliau berkata kepada ‘Amr bin Al-‘Ash, ‘Andai saja bapakmu masuk Islam, kemudian engkau bersedekah untuknya, atau berpuasa untuknya, atau engkau merdekakan hamba sahaya untuknya, pastilah itu berguna baginya’.” Demikian penuturan Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah dalam kitab Majmu’ Al-Fatawa, halaman 24/366-367.
Talqin Mayyit
Mayoritas masyarakat muslim Indonesia, bila memakamkan salah seorang saudaranya yang seagama, setelah mayyit selesai dimakamkan, dibacakan talqin mayyit. Sementara pihak menganggap bahwa pembacaan talqin merupakan perbuatan bid’ah dan sia-sia. Benarkah demikian?
Dalam buku ini, penulis mengutip pendapat Syaikh Ibnul Qayyim dalam kitabnya, Ar-Ruh, halaman 12-13: Tradisi yang biasa dilakukan kaum muslimin sejak zaman dahulu hingga saat ini, yaitu talqin mayat di kubur, jika mayat tidak dapat mendengar talqin tersebut dan talqin itu tidak bermanfaat baginya, tentulah talqin itu sia-sia.
Imam Ahmad pernah ditanya tentang talqin mayat dan beliau menganggapnya sebagai perbuatan baik dan boleh dilakukan. Ia meriwayatkan hadits tentang talqin. Disebutkan oleh Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam, dari hadits Abu Umamah, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, ”Apabila salah seorang di antara kalian meninggal dunia, saat kalian meratakan tanah kuburannya, hendaklah salah seorang di antara kalian berdiri pada bagian kepalanya dan mengucapkan, ’Wahai Fulan bin Fulanah’. Sesungguhnya ia mendengarnya, tetapi ia tidak menjawab.
Kemudian katakanlah, ’Wahai Fulan bin Fulanah’ untuk yang kedua kali. Maka ia pun duduk.
Kemudian katakanlah, ’Wahai Fulan bin Fulanah’. Ia berkata, ’Bimbinglah kami, semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu’. Tetapi kamu tidak bisa mendengarnya.
Katakanlah, ’Ingatlah apa yang engkau bawa ketika keluar dari dunia, kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Sesungguhnya engkau rela Allah menjadi Tuhanmu, Islam menjadi agamamu, Muhammad menjadi nabimu, dan Al-Quran menjadi imammu’.”
Meskipun hadits ini bukan hadits shahih, talqin telah dilaksanakan secara terus-menerus di berbagai negeri dan setiap zaman, tanpa ada yang mengingkarinya. Itu sudah cukup dijadikan sebagai pedoman untuk mengamalkannya. Allah SWT telah menjadikannya sebagai tradisi, umat Islam telah melaksanakannya dari timur hingga barat belahan bumi.
Kaum muslimin adalah umat yang paling sempurna akalnya dan paling memiliki ilmu pengetahuan, apakah masuk akal jika kaum muslimin berbicara kepada orang yang tidak dapat mendengar dan tidak berpikir?!
Umat Islam telah menjadikan talqin sebagai tradisi yang baik, tidak ada yang mengingkarinya. Bahkan talqin mayat itu tradisi yang telah dilakukan kaum muslimin generasi awal yang kemudian dilanjutkan generasi belakangan. Kaum muslimin generasi belakangan mengikuti tradisi kaum muslimin generasi terdahulu.
Andai mayat itu tidak bisa mendengar talqin, tentulah kalimat yang dibaca itu seperti kalimat yang ditujukan kepada tanah, kayu, dan batu....”
Ziarah Kubur
Menjelang datangnya Ramadhan, sudah menjadi tradisi bagi umat Islam untuk mengunjungi makam-makam keluarganya atau kalangan orang-orang shalih. Aktivitas mengunjungi makam itu biasa disebut dengan istilah ziarah. Di lain pihak, aktivitas ziarah sering kali mendapat kecaman dan tuduhan-tuduhan yang cukup keras, misalnya tuduhan bid’ah atau syirik, atau yang sejenisnya.
Bagaimana pandangan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, tokoh sentral paham Wahhabi, mengenai ziarah? Berikut kutipan komentar Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dalam kitab Ahkam Tamanni Al-Maut, halaman 46-47, yang dikutip dalam buku susunan Faishal Murad Ali Ridha pada pembahasan Pasal Kedua:
Diriwayatkan dari Abu Hurairah dan Aisyah, disebutkan oleh Imam Ahmad dan Al Hakim dari Aisyah, ia berkata, ”Aku masuk ke lokasi makam Rasulullah SAW dan Abu Bakar, aku meletakkan pakaianku, aku katakan, mereka adalah bapakku dan suamiku. Ketika Umar dimakamkan bersama dengan mereka, aku masuk ke makam mereka dengan pakaian tertutup rapat, karena malu kepada Umar.”
Disebutkan oleh Imam Al-Baihaqi dan Al-Hakim, dari Abu Hurairah (hadits marfu’), Rasulullah SAW bersabda, ”Aku bersaksi bahwa kamu hidup di sisi Allah SWT, maka ziarahilah mereka dan ucapkanlah salam kepada mereka. Demi Yang jiwaku berada di tangan-Nya, setiap orang yang mengucapkan salam kepada salah seorang dari mereka, ruhnya dikembalikan hingga hari Kiamat.” Kalimat ini ditujukan kepada Mush’ab bin ‘Umair dan para sahabatnya.
Diriwayatkan dan dinyatakan shahih oleh Al-Hakim, dari Abdullah bin Abi Farwah, sesungguhnya Rasulullah SAW berziarah ke makam para syuhada’ Uhud, beliau berkata, ”Ya Allah, sesungguhnya hamba-Mu dan nabi-Mu bersaksi bahwa mereka itu adalah para syuhada’. Sesungguhnya siapa yang berziarah dan mengucapkan salam kepada mereka hingga hari Kiamat, mereka pasti membalasnya.”
Menyikapi Perbedaan
Faishal Murad Ali Ridha, penulis, yang berkebangsaan Arab Saudi, memang sengaja mengutip pendapat-pendapat para ulama rujukan kalangan pembaharu itu yang berkaitan khusus tentang kondisi orang-orang yang telah meninggal dunia. Sebagaimana yang ia katakan sendiri dalam kata pengantarnya, itu dilakukannya untuk menghilangkan sesuatu yang mengambang di pikiran kaum muslimin, sikap ragu, bimbang, dan pemahaman keliru tentang kondisi dan perkara-perkara yang berkaitan dengan orang-orang yang telah meninggal dunia.
Beredarnya buku ini diharapkan dapat membuat sementara kalangan yang masih ”gemar” mensyirikkan, membid’ahkan, dan mengkafirkan orang lain, mendapat informasi yang berimbang, sehingga dapat mengetahui bahwa perselisihan adalah hal yang wajar, misalnya pada masalah doa terhadap orang yang sudah meninggal dunia atau yang berhubungan dengan tata cara penguburan, seperti yang tertuang dalam buku ini, yang semestinya tidak disikapi dengan fatwa atau tuduhan yang berlebihan.
Harapan penerjemah, umat dapat lebih bijak menyikapi segala perselisihan dan perbedaan pendapat, minimal dapat mengubah sikap. Karena, bahkan para tokoh panutan di atas pun tidak selantang para pengikut mereka dalam berfatwa.
Terakhir, sebagaimana yang juga dikatakan oleh penerjemah, hanya dengan cara saling menghormati pendapat, kita bisa menjalin persatuan umat. Tebarkan salam sesuai perintah Nabi SAW dan beri saudaramu senyuman manis, agar kita dapat hidup lebih rukun. Hingga pada akhirnya, setan akan sedih melihat kita hidup dalam kebersamaan, karena tugas utama setan adalah menebarkan permusuhan di tengah-tengah umat.
Semoga buku ini bermanfaat untuk kita semua.

Bos Sen Yes dan Jamiyyah Madinah Ar-Rasul (BSY dan JMR)



Sejak awal abad keenam belas, kota Cirebon memang dikenal sebagai salah satu basis penyebaran agama Islam di wilayah Jawa Barat. Sunan Gunung Jati, salah satu tokoh Walisanga, bermukim di kota ini. Tidak mengherankan jika daerah yang berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa Tengah ini kaya akan khazanah keislaman. Mulai dari situs-situs peninggalan Kesultanan Cirebon, karya-karya sastra, sampai pesantren-pesantren tradisional.


Sunan Gunung Jati hanyalah satu di antara begitu banyak tokoh wali yang dilahirkan di Kota Udang ini. Di kompleks makam Sunan Gunung Jati, begitu banyak makam lain yang juga merupakan makam para kekasih Allah. Belum lagi pada kompleks-kompleks makam lainnya. Karenanya, Cirebon sering disebut  “Kota Wali”.


Memasuki Cirebon dari arah Bandung atau Majalengka, misalnya, kita akan disambut pemandangan berupa tajug-tajug (mushalla) yang indah dan pesantren-pesantren besar. Salah satunya adalah Pesantren Babakan, Ciwaringin.


Babakan sendiri sebenarnya adalah nama sebuah desa yang terletak di perbatasan Kabupaten Cirebon dengan Majalengka. Namanya kemudian identik dengan pesantren, karena di desa itu berdiri kurang lebih 30 pondok pesantren denga ribuan santri.


Di kawasan sekitar Pesantren Babakan Ciwaringin inilah figur kita kali ini, Habib Husen bin Hud Bin Yahya, lahir dan dibesarkan. Ayahnya, Habib Hud bin Muhammad Bin Yahya, adalah salah satu tokoh sepuh habaib kota Cirebon saat ini.


Janji Allah
Habib Husen adalah putra keempat dari tujuh bersaudara pasangan Habib Hud dan Hj. Himayah Masduki. Ibunda Habib Husen adalah putri K.H. Masduki Ali, salah seorang tokoh ulama Pesantren Ciwaringin Cirebon di masa lalu.


Masa kecil Habib Husein dihabiskan di sekitar pesantren yang diasuh ayahnya, sepeninggal kakeknya, Kiai Masduki. Setelah menyelesaikan pendidikan di madrasah tsanawiyah dan aliyah di lingkungan Pesantren Babakan Ciwaringin, ia sempat pula mengenyam pendidikan di sejumlah pesantren di Jawa Tengah dan Jawa Timur.


Setelah lama menimba ilmu dari pesantren ke pesantren, tahun 2001 Habib Husen pergi ke negeri leluhurnya, Hadhramaut, untuk semakin menambah wawasan keilmu¬annya. Di sana, ia masuk Rubath Tarim, yang saat itu masih diasuh oleh Habib Hasan bin Abdullah Asy-Syathiri, dan adiknya, Habib Salim Asy-Syathiri.


“Pertama kali datang ke Hadhramaut, saya mendekati Habib Hasan sambil membawa segelas air untuk minta didoai. Dengan doa beliau, saya berharap bisa betah tinggal di Hadhramaut dan mendapat keberkahan selama mengikuti pelajaran di kota itu. 


Setelah pamit berpisah dari Habib Hasan, air itu saya minum. Sisanya akan saya simpan. Tapi tiba-tiba kawan-kawan saya ‘menyerbu’, akhirnya air itu habis diminum kawan-kawan saya,” kisah Habib Husen mengenang masa-masa awal ia tiba di Hadhramaut. 


Banyak kenangan yang diperolehnya saat menimba ilmu di bawah asuhan para ulama Hadhramaut. Kesempatan selama berada di sana benar-benar tak disia-siakannya. Selain duduk bersama para ulama untuk menimba ilmu dari mereka, ia juga kerap mendatangi mereka untuk meminta ijazah, baik sanad maupun awrad.


Sewaktu di Hadhramaut, selain ijazah dari gurunya sendiri di Rubath Tarim, yaitu Habib Hasan dan Habib Salim, ia juga mendapatkan ijazah dari Habib Abdullah Bin Syihab dan Habib Umar Bin Hafidz.


Dua tahun setelah tinggal di Hadhramaut, Habib Husen berniat untuk pergi menunaikan ibadah haji. Saat itu, ia berangkat dari Hadhramaut. Ada kejadian aneh yang ia rasakan pada waktu itu. Di depan Ka’bah, saat ia tengah berthawaf, seseorang mendekatinya dan tiba-tiba memeluk erat dirinya. Ia pasrah saja. 


Sesaat setelah dipeluk, ia heran, orang itu tak lagi terlihat, tenggelam di lautan massa yang ada di sekitar Ka’bah.


Setelah itu, ia mendapati di kantungnya ada uang 100 riyal. “Mungkin orang yang tadi itu yang memberikan, tapi kenapa ya dia memberikan uang itu?” tanyanya dalam hati ketika ia mengisahkan kejadian itu.


Sesaat kemudian, ia teringat, beberapa waktu sebelumnya, ia baru saja memberi uang 10 riyal untuk seorang musafir yang berasal dari Indonesia. Ia pun teringat bunyi sebuah hadits Nabi yang bermakna bahwa siapa berbuat kebajikan, Allah SWT akan membalasnya sepuluh kali lipat.


“Allah SWT memang tak pernah mengingkari janji-Nya,” gumamnya kemudian.


Jubah Habib Salim
Di Hadhramaut, walaupun tak jarang yang dibaca adalah kitab-kitab permulaan seperti kitab Safinah an-Najah, karena mereka (para ulama Tarim) hadir dan duduk di sebuah majelis ilmu bukan hanya untuk ilmu semata-mata, tapi juga untuk ibadah dan menjalankan perintah Allah, terasa sekali keberkahannya.


“Inilah keistimewaan ulama-ulama Hadhramaut, berilmu, beramal, dan tawadhu’. Berbeda dengan sebagian orang yang jika sudah dianggap ustadz tidak mau lagi mendengar kata-kata orang lain,” kata Habib Husein membandingkan.


Setelah beberapa tahun lamanya tinggal di Hadhramaut, Habib Husein berencana untuk pulang ke kampung kelahirannya. Karenanya, ia pun hendak mendatangi Habib Salim. Untuk berpamitan maksudnya.


Habib Salim mengizinkannya pulang dan bahkan memberikannya banyak ijazah, sanad, dan wirid. Selain itu, Habib Salim juga memberinya sebuah jubah. Habib Salim menyuruhnya untuk mencoba mengenakannya terlebih dulu.


Setelah dicoba, ia merasa sangat terkesan. Sebab, sebelum diserahkan kepadanya, jubah itu dilipat Habib Salim sendiri. Rupanya Habib Salim ingin sambil mengajarinya melipat jubah. “Begini cara melipat jubah,” ujar Habib Salim kala itu.


Ia benar-benar merasa terkesan dengan apa yang dilakukan gurunya itu. Baginya, itu adalah pelajaran yang sangat bermakna. Pelajaran tentang bagaimana seseorang harus mempunyai semangat untuk idkhalussurur (menyenangkan hati orang lain) dan juga pelajaran untuk bersikap tawadhu’.


Siapa yang tidak senang? Sudah dikasih hadiah, diberi penghormatan pula seperti itu oleh orang sebesar Habib Salim? Begitu pula tentang ketawadhu’an Habib Salim yang ia saksikan langsung. Padahal, saat itu ada khadamnya dan orang-orang lain yang sewaktu-waktu selalu siap menerima perintah Habib Salim.


Madinah Ar-Rasul
Setelah pulang dari Hadhramaut, semangatnya dalam mencari ilmu masih terus terjaga. Ia sempat kuliah dan tahun ini ia baru saja menggondol gelar sarjana.


Ayah dua putra, M. Mahdi dan M. Nagib, ini kini mulai aktif mengajar dan berdakwah. 


Saat ini ia mengajar di Pesantren Miftahul Muta’allimin (putra) dan Raudlatul Banat (putri), Babakan Ciwaringin, Cirebon. Ia juga aktif mengasuh majelis ta’lim di beberapa tempat lainnya. Dan aktivitas utamanya adalah menjadi pengasuh dalam Majelis Ta’lim wal Maulid Madinah Ar-Rasul, yang ia dirikan pada tahun 2007.


Madinah Ar-Rasul bermakna Kota Sang Rasul. Nama ini pertama kali ia dapat ketika masih belajar di Ribath Tarim. Saat ia membaca sebuah kitab sirah Nabawiyah, matanya tertuju pada sebuah kalimat yang di dalamnya ada kata-kata “madinatur rasul”.


“Nama ini bagus juga kalau suatu saat saya mendirikan dan membina sebuah majelis,” pikirnya saat itu kala ia berkisah. Dan kini, harapannya itu menjadi kenyataan.


Nama itu dipilih Habib Husein dengan harapan bahwa majelisnya ini akan semakin membumikan ajaran syari’at Rasulullah SAW di bumi Cirebon.


Sebagai sebuah organisasi, Madinah Ar-Rasul tentu mempunyai visi. Dan misinya itu adalah mencerdaskan umat, menjaga amalan para salaf, dan menguatkan ukhuwah Islamiyah.


“Karena, dengan adanya perkumpulan seperti ini, kita dapat saling mengenal, saling mengunjungi, dan bekerja sama,” kata Habib Husen lebih lanjut.


Beberapa waktu silam, ketika Habib Salim datang, ia menyampaikan ke Habib Salim bahwa ia mendirikan majelis dan menamakannya dengan nama itu. 


Habib Salim pun mengatakan, “Jika kita menamai sesuatu dengan yang mengandung keberkahan, yang dinamai itu juga mendapat keberkahan.”


Pada awalnya, Madinah Ar-Rasul hanya diikuti oleh masyarakat sekitar. Namun, seiring berjalannya waktu, majelisnya itu kini telah berkembang ke beberapa daerah, bahkan hingga ke luar Kabupaten Cirebon. Ya, Madinah Ar-Rasul sudah mempunyai beberapa cabang.


Selain ia sendiri, ia juga mengajak saudara-saudaranya, seperti kakaknya, Habib Abubakar, yang pernah di Mesir dan Darul Musthafa Tarim, dan adiknya, Habib Muhammad, yang lulusan Universitas Al-Ahqaf, Hadhramaut. Rekan-rekannya, baik yang dari Ribath Tarim maupun Darul Musthafa Tarim, juga kerap mengisi acara di majelisnya tersebut. Dan tak lupa, para kiai Cirebon dan sekitarnya juga ia ajak turut serta.


Jaminan Penuntut Ilmu
Selama alKisah berbincang dengan Habib Husein, ia banyak bertutur tentang keistimewaan menuntut ilmu. Di antara yang disampaikannya, “Allah SWT saja berkata kepada Nabi-Nya, ‘Katakanlah (wahai Muhammad): Ya Allah, tambahkanlah untukku ilmu.’


Lihat saja, Allah memerintahkan kepada Nabi-Nya supaya meminta tambahnya ilmu. Ini merupakan bukti bahwa ilmu adalah perkara yang paling mulia.


Bukan itu saja, bahkan, dengan mencari ilmu, kita akan mendapat jaminan khusus dari Allah tentang rizqi, sebagaimana dalam atsar disebutkan, ‘Sesungguhnya Allah menjamin rizqi para pencari ilmu.’


Mengenai hal ini, shahiburratib, Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad, mengatakan, ‘Ini adalah tanggungan yang khusus bagi pencari ilmu, sehingga pencari ilmu akan mendapat kemudahan dan dipercepat untuk memperoleh rizqi dan kekayaan.’ 


Mencari ilmu juga dapat mencegah matinya hati. Karena, sebagaimana badan memerlukan makanan, demikian juga hati dan ruh kita. Contohnya, orang yang dicegah dari makan, minum, dan berobat, tentunya ia akan mati. Begitu juga hati kita, bila dicegah dari hikmah dan ilmu, cobalah tiga hari saja, ia pun akan mati. Karena makanan hati adalah hikmah dan ilmu.


Dengan alasan itu saya mengatakan kepada jamaah, ‘Kalau kita ingin sukses dunia-akhirat, rutinlah mengikuti majelis-majelis ilmu. Di samping jangan lupa dengan kewajiban-kewajiban yang harus dinomorsatukan, seperti shalat, puasa, dan seterusnya.’


Jadi, sangat keliru, jika ingin sukses dunia-akhirat, kita tidak menjaga kewajiban-kewajiban yang Allah tentukan untuk kita dalam urusan agama.


Perlu pula diingat, sukses itu bukan hanya dari segi yang zhahir di dunia. Lebih dari itu, kita harus sukses di akhirat. Jadi, belum pasti orang yang punya kedudukan dan kekayaan di dunia, bahkan orang alim sekalipun, menjadi orang sukses di akhirat. Karena orang alim pun bisa celaka, seperti dikatakan dalam kitab Az-Zubad, ‘Orang yang alim yang tidak mengamalkan ilmunya akan disiksa sebelum para penyembah berhala’.”


Jadi, dengan hadir dalam kegiatan-kegiatan ta’lim dan dzikir, seperti salah satunya yang diadakan oleh Madinah Ar-Rasul, insya Allah kita akan sukses dunia-akhirat.

KH Hasyim Asy’ari Sang Ulama Pejuang



Menyebut nama KH Hasyim Asy’ari, orang tentu akan berpikir pada pendiri organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Tak salah memang, sebab dengan peran sebagai tokoh sentral, NU mampu menjadi organisasi keislaman yang diikuti banyak masyarakat Muslim di Indonesia.
Selain itu, KH Hasyim Asy’ari juga dikenal sebagai pendiri Pondok Pesantren Tebuireng (Jombang). Namanya juga sangat lekat dengan tokoh pendidikan dan pembaru pesantren di Indonesia. Selain mengajarkan agama pada pesantren, ia juga mengajar para santri membaca buku-buku pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato. Ia merupakan salah seorang tokoh besar Indonesia abad ke-20.
KH Hasyim Asy’ari dilahirkan pada 14 Februari l871, di Pesantren Gedang, Desa Tambakrejo, sekitar dua kilometer ke arah utara Kota Jombang, Jawa Timur. Ia merupakan anak ketiga dari 11 bersaudara pasangan Kiai Asy’ari dan Nyai Halimah.
Ayahnya, Kiai Asy’ari, adalah menantu Kiai Utsman, pengasuh pesantren Gedang. Sehingga, sejak kecil, ia sudah mendapatkan pendidikan agama yang cukup dalam dari orang tua dan kakeknya. Ia diharapkan menjadi penerus kepemimpinan pesantren.
Mandiri sejak belia
Bakat kepemimpinan Kiai Hasyim sudah tampak sejak masa kanak-kanak. Ketika bermain dengan teman-teman sebayanya, Hasyim kecil selalu menjadi penengah. Jika melihat temannya melanggar aturan permainan, ia akan menegurnya. Dia membuat temannya senang bermain karena sifatnya yang suka menolong dan melindungi sesama.
Pada 1876 M, tepatnya ketika berusia 6 tahun, Hasyim kecil bersama kedua orang tuanya pindah ke Desa Keras (Diwek), sekitar 8 kilometer ke selatan Kota Jombang. Kepindahan mereka adalah untuk membina masyarakat di sana. Di Desa Keras, Kiai Asy’ari diberi tanah oleh sang kepala desa, yang kemudian digunakan untuk membangun rumah, masjid, dan pesantren. Di sinilah Hasyim kecil dididik dasar-dasar ilmu agama oleh orang tuanya.
Hasyim juga menyaksikan secara langsung cara dan metode Kiai Asy’ari membina dan mendidik para santri. Hasyim hidup menyatu bersama santri. Ia mampu menyelami kehidupan santri yang penuh kesederhanaan dan kebersamaan. Semua itu memberikan pengaruh yang sangat besar pada pertumbuhan jiwa dan pembentukan wataknya di kemudian hari.
Selain itu, sejak kecil Kiai Hasyim juga sudah menunjukkan tanda-tanda kecerdasannya. Pada usia 13 tahun, dia sudah bisa membantu ayahnya mengajar santri-santri yang lebih besar (senior) darinya.
Ia juga dikenal rajin bekerja. Watak kemandirian yang ditanamkan sang kakek (Kiai Utsman), mendorongnya untuk berusaha memenuhi kebutuhan diri sendiri tanpa bergantung kepada orang lain. Itu sebabnya, Hasyim selalu memanfaatkan waktu luangnya untuk belajar mencari nafkah dengan bertani dan berdagang. Hasilnya kemudian dibelikan kitab dan digunakan untuk bekal menuntut ilmu.
Pada usia 15 tahun, Hasyim remaja meninggalkan kedua orang tuanya untuk berkelana memperdalam ilmu pengetahuan. Mula-mula ia menjadi santri di Pesantren Wonorejo Jombang, lalu Pesantren Wonokoyo Probolinggo, kemudian Pesantren Langitan Tuban, dan Pesantren Trenggilis Surabaya. Belum puas dengan ilmu yang diperolehnya, Hasyim melanjutkan menuntut ilmu ke Pesantren Kademangan, Bangkalan, Madura, di bawah asuhan KH Kholil yang dikenal sangat alim.
Setelah lima tahun menuntut ilmu di Bangkalan, pada 1891, Hasyim kembali ke tanah Jawa dan belajar di Pesantren Siwalan, Panji, Sidoarjo, di bawah bimbingan Kiai Ya’qub yang kelak menjadi mertuanya. Ia menimba ilmu di Pesantren Siwalan selama lima tahun.
Semangatnya dalam menuntut ilmu membawa dirinya sampai ke tanah suci, Makkah. Selama di Makkah, ia berguru kepada sejumlah ulama besar, di antaranya Syeikh Syuaib bin Abdurrahman, Syekh Mahfudzh at-Tirmasi (Tremas, Pacitan), Syekh Khatib al-Minangkabawi, Syekh Ahmad Amin al-Athar, Syekh Ibrahim Arab, Syekh Said al-Yamani, Syekh Rahmatullah, dan Syekh Bafaddhal.
Sejumlah Sayyid juga menjadi gurunya, antara lain Sayyid Abbas al-Maliki, Sayyid Sulthan Hasyim al-Daghistani, Sayyid Abdullah al-Zawawi, Sayyid Ahmad bin Hasan al-Atthas, Sayyid Alwi al-Segaf, Sayyid Abu Bakar Syatha al-Dimyathi, dan Sayyid Husain al-Habsyi yang saat itu menjadi mufti di Makkah. Di antara mereka, ada tiga orang yang sangat memengaruhi wawasan keilmuan Kiai Hasyim, yaitu Sayyid Alwi bin Ahmad al-Segaf, Sayyid Husain al-Habsyi, dan Syekh Mahfudzh al-Tirmasi.
Pada saat tinggal di Makkah ini, Kiai Hasyim dipercaya untuk mengajar di Masjidil Haram bersama tujuh ulama Indonesia lainnya, seperti Syekh Nawawi al-Bantani dan Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Selama di Makkah, beliau mempunyai banyak murid yang berasal dari berbagai negara. Di antaranya ialah Syekh Sa’dullah al-Maimani (mufti di Bombay, India), Syekh Umar Hamdan (ahli hadis di Makkah), Al-Syihab Ahmad ibn Abdullah (Syiria), KH Abdul Wahab Hasbullah (Tambakberas, Jombang), KH R Asnawi (Kudus), KH Dahlan (Kudus), KH Bisri Syansuri (Denanyar, Jombang), dan KH Shaleh (Tayu).
Dan, bersama KH Wahab Hasbullah (Tambakberas), KH Bisri Syansuri (Denanyar), serta KH Bisri Musthofa (Rembang), KH Hasyim Asy’ari mendirikan organisasi Nahdlatul Ulama (NU), sebagai wujud perjuangan para ulama dalam membimbing umat sekaligus melawan penjajah Belanda. Beberapa saat setelah merdeka, Kota Surabaya yang ingin direbut kembali oleh penjajah, mendapat perlawanan dari rakyat Indonesia. Bersama Bung Tomo, KH Hasyim Asy’ari menyerukan perang jihad melawan Belanda.
Dan selanjutnya, melalui organisasi ini pula, nama KH Hasyim Asy’ari berkibar. Ketokohan dan keilmuan yang dimilikinya menempatkannya sebagai ulama teratas di Indonesia. Tak heran pula bila kemudian beliau mendapat julukan sebagai Hadratus Syekh (penghulu para syekh/ulama). dia/sya/berbagai sumber
Menjadi Pendidik Sejati
KH Hasyim Asy’ari juga dikenal sebagai seorang pendidik sejati. Hampir sepanjang hidupnya, dirinya mengabdikan diri pada lembaga pendidikan, terutama di Ponpes Tebuireng, Jombang. Saat ini, Ponpes Tebuireng diasuh oleh cucunya, yaitu KH Sholahuddin bin Wahid bin Hasyim, yang akrab disapa dengan Gus Sholah. Gus Sholah adalah adik kandung KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), mantan presiden RI keempat.
Awalnya, pada 1899, Kiai Hasyim membeli sebidang tanah dari seorang dalang di Dukuh Tebuireng. Letaknya kira-kira 200 meter sebelah Barat Pabrik Gula Cukir, pabrik yang telah berdiri sejak tahun 1870. Dukuh Tebuireng terletak di arah timur Desa Keras, kurang lebih berjarak satu kilometer. Di sana beliau membangun sebuah bangunan yang terbuat dari bambu sebagai tempat tinggal.
Dari bangunan kecil inilah embrio Pesantren Tebuireng dimulai. Bagian depan dari bangunan bambu ini digunakan oleh Kiai Hasyim sebagai tempat mengajar dan shalat berjamaah. Sedangkan, bagian belakang dijadikan tempat tinggal. Pada awal berdiri, jumlah santri yang belajar baru  delapan orang, dan tiga bulan kemudian bertambah menjadi 28 orang.
Selain ahli dalam bidang agama, Kiai Hasyim juga ahli dalam mengatur kurikulum pesantren, mengatur strategi pengajaran. Di dunia pendidikan, ia merupakan seorang pendidik yang sulit dicari tandingannya. Ia menghabiskan waktu dari pagi hingga malam untuk mengajar para santrinya.
Kegiatan mengajar ia mulai pada pagi hari, yakni selepas memimpin shalat subuh berjamaah. Ia mengajarkan kitab kepada para santri hingga menjelang matahari terbit. Di antara kitab yang diajarkan setelah subuh adalah al-Tahrir dan Al-Syifa fi Huquq al-Musthafa karya al-Qadhi ‘Iyadh.
Kemudian setelah menunaikan shalat dhuha, Kiai Hasyim kembali memberikan pengajaran kitab kepada para santrinya. Namun, sesi pengajaran pada waktu ini khusus ditujukan bagi para santri senior. Kitab yang diajarkannya, antara lain, Kitab al-Muhaddzab karya al-Syairazi dan Al-Muwatta karya Imam Malik. Pengajian untuk santri senior ini biasanya berakhir pada pukul 10.00.
Selepas shalat zuhur, beliau mengajar lagi sampai menjelang waktu ashar. Kegiatan mengajar ini, ia lanjutkan setelah shalat ashar hingga menjelang maghrib. Kitab yang diajarkan adalah Fath al-Qarib. Pengajian ini wajib diikuti semua santri tanpa terkecuali. Hingga akhir hayatnya, kitab ini secara kontinu dibaca setiap selesai shalat ashar.
Kegiatan mengajar para santrinya, baru ia mulai kembali setelah shalat Isya. Ia mengajar di masjid sampai pukul sebelas malam. Materi yang biasa diajarkan adalah ilmu tasawuf dan tafsir. Di bidang tasawuf, beliau membacakan kitab Ihya’ Ulum al-Din karya Imam Ghazali, dan untuk tafsir adalah Tafsir Alquran al-Adzim karya Ibnu Katsir.
Dalam hal menjalankan praktik ibadah, Kiai Hasyim senantiasa membimbing para santrinya. Ini terlihat dalam rutinitas harian beliau yang kerap berkeliling pondok pada dini hari hanya untuk membangunkan para santri agar segera mandi atau berwudhu guna malaksanakan shalat tahajud dan shalat subuh.
Kecintaan Kiai Hasyim pada dunia pendidikan terlihat dari pesan yang selalu disampaikan kepada setiap santri yang telah selesai belajar di Tebuireng. ”Pulanglah ke kampungmu. Mengajarlah di sana, minimal mengajar ngaji,” demikian isi pesan Kiai Hasyim kepada para santrinya.
Sistem pengajaran
Sejak awal berdirinya hingga tahun 1916, Pesantren Tebuireng menggunakan sistem pengajaran sorogan dan bandongan. Dalam sistem pengajaran ini, tidak dikenal yang namanya jenjang kelas. Kenaikan kelas diwujudkan dengan bergantinya kitab yang telah selesai dibaca (khatam). Materinya pun hanya berkisar pada materi pengetahuan agama Islam dan Bahasa Arab. Bahasa pengantarnya adalah Bahasa Jawa dengan huruf pegon (tulisan Arab berbahasa Jawa).
Seiring perkembangan waktu, sistem dan metode pengajaran pun ditambah, di antaranya dengan menambah kelas musyawarah sebagai kelas tertinggi. Santri yang berhasil masuk kelas musyawarah jumlahnya sangat kecil, karena seleksinya sangat ketat.
Baru kemudian pada 1916, KH Ma’shum Ali–salah seorang menantu Kiai Hasyim–mengenalkan sistem klasikal (madrasah). Mulai tahun itu juga, Madrasah Tebuireng membuka tujuh jenjang kelas dan dibagi menjadi dua tingkatan. Tahun pertama dan kedua dinamakan sifir awal dan sifir tsani, yaitu masa persiapan untuk dapat memasuki madrasah lima tahun berikutnya.
Para peserta sifir awal dan sifir tsani dididik secara khusus untuk memahami bahasa Arab sebagai landasan penting bagi pendidikan madrasah lima tahun.
Mulai tahun 1919, Madrasah Tebuireng secara resmi diberi nama Madrasah Salafiyah Syafi’iyah. Kurikulumnya ditambah dengan materi Bahasa Indonesia (Melayu), matematika, dan geografi. Lalu pada 1926, pelajaran ditambah dengan pelajaran Bahasa Belanda dan Sejarah. dia/berbagai sumber
Karya Sang Ulama
Selama hidupnya, KH Hasyim Asy’ari banyak menulis karya, diantaranya :
1. Al-Tibyan fi al-Nahy ‘an Muqatha’ah al-Arham wa al-Aqarib wa al-Ikhwan. Berisi tentang tata cara menjalin silaturrahim, bahaya dan pentingnya interaksi sosial (1360 H).
2. Mukaddimah al-Qanun al-Asasy Li Jam’iyyah Nahdhatul Ulama. Pembukaan undang-undang dasar (landasan pokok) organisasi Nahdhatul Ulama’ (1971 M).
3. Risalah fi Ta’kid al-Akhdz bi Madzhab al-A’immah al-Arba’ah. Risalah untuk memperkuat pegangan atas madzhab empat.
4. Mawaidz (Beberapa Nasihat). Berisi tentang fatwa dan peringatan bagi umat (1935).
5. Arba’in Haditsan Tata’allaq bi Mabadi’ Jam’lyah Nahdhatul Ulama’. Berisi 40 hadis Nabi yang terkait dengan dasar-dasar pembentukan Nahdhatul Ulama’.
6. Al-Nur al-Mubin fi Mahabbah Sayyid al-Mursalin (Cahaya pada Rasul), ditulis tahun 1346 H.
7. At-Tanbihat al-Wajibat liman Yashna’ al-Maulid bi al-Munkarat. Peringatan-peringatan wajib bagi penyelenggara kegiatan maulid yang dicampuri dengan kemungkaran, tahun 1355 H.
8. Risalah Ahli Sunnah Wal Jama’ah fi Hadits al-Mauta wa Syarat as-Sa’ah wa Bayan Mafhum al-Sunnah wa al-Bid’ah. Risalah Ahl Sunnah Wal Jama’ah tentang hadis-hadis yang menjelaskan kematian, tanda-tanda hari kiamat, serta menjelaskan sunnah dan bid’ah.
9. Ziyadat Ta’liqat a’la Mandzumah as-Syekh ‘Abdullah bin Yasin al-Fasuruani. Catatan seputar nazam Syeikh Abdullah bin Yasin Pasuruan. Berisi polemik antara Kiai Hasyim dan Syeikh Abdullah bin Yasir.
10. Dhau’ul Misbah fi Bayan Ahkam al-Nikah. Cahayanya lampu yang benderang menerangkan hukum-hukum nikah. Berisi tata cara nikah secara syar’i; hukum-hukum, syarat, rukun, dan hak-hak dalam perkawinan.
11. Ad-Durrah al Muntasyiroh Fi Masail Tis’a ‘Asyarah. Mutiara yang memancar dalam menerangkan 19 masalah. Tahun 1970-an kitab ini diterjemahkan oleh KH Tholhah Mansoer atas perintah KH M Yusuf Hasyim, diterbitkan oleh percetakan Menara Kudus.
12. Al-Risalah fi al-’Aqaid. Berbahasa Jawa, berisi kajian tauhid, pernah dicetak oleh Maktabah an-Nabhaniyah al-Kubra Surabaya, bekerja sama dengan percetakan Musthafa al-Babi al-Halabi Mesir tahun 1356 H/1937 M.
13. Al-Risalah fi at-Tasawwuf. Menerangkan tentang tashawuf; penjelasan tentang ma’rifat, syariat, thariqah, dan haqiqat. Ditulis dengan bahasa Jawa.
14. Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim fima Yahtaju ilaih al-Muta’allim fi Ahwal Ta’limih wama Yatawaqqaf ‘alaih al-Muallim fi Maqat Ta’limih. Tatakrama pengajar dan pelajar. Berisi tentang etika bagi para pelajar dan pendidik, merupakan resume dari Adab al-Mu’allim karya Syekh Muhammad bin Sahnun (w.256 H/871 M); Ta’lim al-Muta’allim fi Thariq at-Ta’allum karya Syeikh Burhanuddin al-Zarnuji (w.591 H); dan Tadzkirat al-Saml wa al-Mutakallim fi Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim karya Syeikh Ibn Jama’ah.
Selain kitab-kitab tersebut di atas, terdapat beberapa naskah manuskrip karya KH Hasyim Asy’ari yang hingga kini belum diterbitkan. Yaitu:
1. Hasyiyah ‘ala Fath ar-Rahman bi Syarh Risalah al-Wali Ruslan li Syeikh al-Islam Zakariya al-Anshari.
2. Ar-Risalah at-Tawhidiyah
3. Al-Qala’id fi Bayan ma Yajib min al-Aqa’id
4. Al-Risalah al-Jama’ah
5. Tamyiz al-Haqq min al-Bathil
6. al-Jasus fi Ahkam al-Nuqus
7. Manasik Shughra