Kamis, 15 Maret 2012

Manaqib Al Maghfurlah Al-Habib Ahmad bin Hasan Al-’Atthas



Mata Bathin Seorang Wali.
Al-Habib Ahmad bin Hasan al-’Atthas
Seorang di antara sejumlah Waliyullah asal Hadramaut, Yaman, ialah al-HabibAhmad bin Hasan al-’Atthas. Ulama besar ini lahir di Huraidhah, Hadramaut, pada hari Selasa 19 Ramadhan 1257 H/1837 M. Karamahnya yang sangat terkenal ialah, Beliau mampu melihat secara bathiniah, sementara penglihatan lahiriahnya tidak dapat melihat. Sejak masih dalam penyusuan ibundanya, beliau terserang penyakit mata yang sangat ganas sehingga buta.

Kemampuan itu Beliau miliki sejak masih kecil hingga berusia lanjut. Suatu hari beliau memenuhi undangan salah seorang santrinya di Mesir. Ketika sedang duduk bersama tuan rumah, tiba-tiba beliau meminta kepada salah seorang hadirin membuka salah satu jendela, karena semua jendela tertutup.
“Angin di luar sangat kencang” kata orang itu. Tapi Habib Ahmad tetap mendesak agar jendela di buka.[more]
Ternyata di bawah jendela itu anak sang tuan rumah tengah berjuang melawan maut, tercebur ke dalam kolam persis di bawah jendela. Tentu saja seluruh hadirin terutama tuan rumah panik. Kontan Habib Ahmad berseru agar orang-orang segera menyelamatkannya. Dan, alhamdulillah, akhirnya anak itu selamat. Itulah salah satu karomah Habib Ahmad bin Hasan al-’Atthas, mampu melihat sesuatu yang terjadi dengan mata bathin, yang justru tidak terlihat oleh orang biasa.
Ketika masih dalam penyusuan ibundanya, beliau menderita sakit mata yang sangat ganas hingga buta. Ibundanya amat sedih, lalu membawa anaknya kepada al-HabibShaleh bin ‘Abdullah al-’Atthas, salah seorang ulama’ besar di zamannya. Sang ibu meletakkan bayi mungil itu di depannya lalu menangis,
“Apa yang dapat kami perbuat dengan anak buta kami..?”
Habib Shaleh pun segera menggendong bayi itu lalu memandanginya dengan tajam. Setelah berdoa, tak lama kemudian beliau berkata,
“Anak ini akan memperoleh kedudukan yang tinggi. Masyarakat akan berjalan di bawah naungan dan keberkahannya. Ia akan mencapai maqom kakeknya, Habib ‘Umar bin ‘Abdurrahman al-’Atthas.”
Mendengar kata-kata yang menyejukkan itu, sang ibu terhibur. Maka sejak itu HabibAhmad yang masih bayi mendapat perhatian khusus dari Habib Shaleh. Manakala melihat si kecil berjalan menghampirinya, Habib Shaleh pun berkata dengan lembut,
“Selamat datang, pewaris Sirr (hikmah kebijaksanaan) Habib ‘Umar bin ‘Abdurrahman al-’Atthas.” (al-Habib ‘Umar bin ‘Abdurrahman al-’Atthas, kakeknya, adalah penyusun Ratib al-’Atthas yang sangat termasyhur).
Lalu Habib Shaleh mengangkat anak kecil itu untuk di boncengkan di kuda tunggangannya.
Sejak usia lima tahun, Habib Ahmad sudah belajar mengaji kepada kakeknya yang lain, al-Habib ‘Abdullah. Setelah itu ia belajar ilmu agama kepada Faraj bin ‘Umar Sabbah, salah seorang murid Habib Hadun bin ‘Ali bin Hasan al-’Atthas, dan Habib Sholeh bin ‘Abdullah al-’Atthas, yang juga termasyhur sebagai ulama.
Seperti kebanyakan para ulama asal Timur Tengah, Habib Ahmad juga memiliki daya ingat luar biasa. Beliau mampu menghafal sesuatu hanya dengan sekali dengar. Setiap kali ada ulama datang ke Huraidhah, beliau selalu memanfaatkan kesempatan itu untuk menimba ilmu dari mereka,
“Aku selalu menghormati dan mengagungkan para ulama salaf yang datang ke kotaku,” kata beliau.
Semua makhluk memang memiliki mata yang mampu melihat, memandang, mengamati, tapi hanya hamba Allah yang di persiapkan oleh Allah SWT untuk dekat dengan-Nya yang mendapat anugerah mata hati (bashirah).
Cerita al-Habib ‘Umar bin Muhammad al-’Atthas mengenai karamah Habib Ahmad sangat menarik.
“Ketika masih kecil, aku suka bermain dengan Habib Ahmad di jalanan. Usia kami sebaya. Ketika itu aku sering mendengar orang-orang memperbincangkan kewalian dan mukasyafah (kata benda untuk Kasyaf, kemampuan melihat hal-hal yang tidak kasat mata) Habib Ahmad. Namun, aku belum pernah membuktikannya,” katanya.
“Suatu hari aku berusaha membuktikan cerita orang-orang itu. Jika ia seorang wali, aku akan membenarkannya, tapi jika hanya kabar bohong, aku akan membuatnya menderita. Kami menggali lubang lalu kami tutup deogan tikar. Setelah tiba saat bermain, aku mengajak Habib Ahmad berlomba lari. Ia kami tempatkan di tengah tepat ke arah lubang itu. Ajaib…!!! Ketika sudah dekat dengan lubang itu, ia melompat seperti seekor Kijang. Awalnya kami kira kejadian ini hanya kebetulan. Kamipun mengajaknya berlomba lagi. Tapi, ketika sampai di depan lubang, ia melompat lagi. Ketika itu kami sadar bahwa ia memang bukan manusia biasa,” kata Habib ‘Umar lagi.
Ketika berusia 17 tahun, Habib Ahmad menunaikan ibadah haji. Kedatangannya di Makkah di sambut oleh al-Allamah Mufti Haramain, as-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, yang menganjurkannya untuk menuntut ilmu al-Qur’an kepada seorang ulama besar di Makkah, Syaikh ‘Ali bin Ibrahim as-Samanudi. Setelah hafal al-Qur’an, Habib Ahmad mempelajari berbagai jenis gaya Qiraat al-Qur’an.
Ketika membuka taklim di Masjidil Haram, as-Sayyid Zaini Dahlan memberi kesempatan kepada Habib Ahmad untuk membacakan hafalan al-Qur’an-nya. Mereka memang sangat akrab, sering berziarah ke berbagai tempat bersejarah di Makkah dan Madinah. Pada 1279 H/sekitar 1859 M, ketika usia beliau 22 tahun, Habib Ahmad pulang dan mengajar serta berdakwah di Hadramaut.
Berkhalwat di Huraidhah
Guru yang berjasa mendidik Habib Ahmad bin Hasan al-’Atthas antara lain:
• al-Habib Abu Bakar bin ‘Abdullah al-’Atthas.
• al-Habib Shaleh bin ‘Abdullah al-’Atthas.
• al-Habib Ahmad bin Muhammad bin ‘Alwi al-Muchdhar.
• al-Habib Ahmad bin ‘Abdullah bin ‘Idrus al-Bar.
• al-Habib ‘Abdurrahman bin ‘Ali bin ‘Umar bin Segaf as-Seggaf.
• al-Habib Muhammad bin ‘Ali bin ‘Alwi bin ‘Abdillah as-Seggaf.
• al-Habib Muhammad bin Ibrahim bin Idrus Bilfaqih.
Sementara guru-gurunya dari Makkah dan Madinah adalah:
o al-Habib Muhammad bin Muhammad as-Seggaf.
o al-Habib Fadhl bin ‘Alwi bin Muhammad bin Sahl Maula Dawilah.
o as-Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan.
Sedangkan kitab-kitab yang beliau pelajari (lewat pendengaran), dengan bimbinganHabib Shaleh bin Abdullah al-’Atthas antara lain, Idhahu Asrari Ulumil Muqorrobin, ar-Risalatul Qusyairiyyah, as-Syifa’ karya Qodhi ‘Iyadh dan Mukhtashar al-Adzkar karya asy-Syaikh Muhammad bin Umar Bahraq. Sejak berguru kepada Habib Shaleh, beliau tidak pernah meninggalkan majelis itu, hingga sang wafat pada 1279 H/sekitar 1859 M.
Pada 1308 H/kurang lebih 1888 M ketika berusia 51 tahun, beliau berkunjung ke Mesir di temani empat muridnya, Syaikh Muhammad bin Awudh Ba Fadhl, Abdullah bin Shaleh bin Ali Nahdi, Ubaid Ba Flai’ dan Sayid Muhammad bin Utsman bin Yahya Ba Alawi. Beliau di sambut oleh ulama terkemuka, Umar bin Muhammad Ba Junaid. Selama 20 haridi Mesir beliau sempat mengunjungi Syaykhul Islam Muhammad al-Inbabiy dan beberapa ulama termasyhur lainnya di Kairo.
Beliau melanjutkan perjalanan ke Madinah untuk berziarah ke makam Rosul Allah SAW, beribadah Umrah ke Makkah lalu menuju Jeddah, Aden, Mukalla, kemudian pulang. Pada 1321 H/sekitar 1901 M, ketika berusia 64 tahun beliau berkunjung ke Tarim dan singgah di Seiwun untuk bertemu dengan al-Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi, penyusun Maulid Simtud Duror. Ketika itu Habib Ali minta agar Habib Ahmad memberikan ijazah kepada hadirin.
Pada usia 68 tahun, sekali lagi ia menunaikan ibadah Haji, sekalian berziarah ke makam Rosul Allah SAW. Pulang dari Tanah Suci, beliau banyak berkhalwat di Huraidhah. Menghabiskan sisa-sisa usia untuk beribadah dan berdakwah. Beliau wafat pada hariSenin malam 6 Rajab 1334 H/kurang lebih 1914 M dalam usia 77 tahun.
Banyak murid Habib Ahmad yang di belakang hari berdakwah di Indonesia. Seperti, al-Habib Ali al-Habsyi (Kwitang, Jakarta), al-Habib Syekh bin Salim al-’Atthas (Sukabumi, Jawa Barat), al-Habib Abu Bakar bin Muhammad as-Seggaf (Gresik, JawaTimur), al-Habib Abdul Qodir bin Ahmad Bilfaqih al-Alawy (Malang, Jawa Timur) dan lain-lain.

(Di sarikan dari buku Sekilas tentang Habib Ahmad bin Hasan al-’Atthas, karya Habib Novel Muhammad al-’Aydrus, Putera Riyadi, Solo, 2003.*)

Tidak ada komentar: