Kamis, 15 Maret 2012

Tahlil, Talqin, Ziarah : Aktifitas Padat Hujjah



Judul: Yang Hidup Memberi – Yang Mati Menerima
Penulis: Faishal Murad Ali Ridha
Penerjemah: Muhammad Ahmad Vad’aq
Penerbit: Ponpes Al-Khairat, Pengasinan, Bekasi, Juli 2009
Tebal: 90 hlm. (80 + halaman Romawi)


Tebarkan salam sesuai perintah Nabi SAW dan beri saudaramu senyuman manis, agar kita dapat hidup lebih rukun. Hingga akhirnya setan akan sedih melihat kita hidup dalam kebersamaan, karena tugas utama setan adalah menebarkan permusuhan di tengah-tengah umat.
”Sungguh menyenangkan apabila kita sebagai umat Muhammad SAW hidup dengan damai, rukun, tenteram, bersatu padu menegakkan agama ini. Kalaupun ada perbedaan pendapat, selayaknya disikapi dengan santun dan penuh etika, bukan dengan sumpah serapah dan saling mencela, apalagi sampai menyesatkan sesama muslimin.”
Demikian di antara yang disampaikan Ustadz Muhammad bin Ahmad Vad’aq, dalam kata pengantarnya selaku penerjemah kitab Al-‘Ulama’ wa Aqwaluhum fi Sya’ni Al-Amwat wa Ahwalihim, karya Faishal Murad Ali Ridha.
Ia juga menuturkan, buku yang dalam edisi terjemahannya ini diberi judul Yang Hidup Memberi – Yang Mati Menerima amat layak dibaca, mengingat penulisnya hanya mengambil referensi dari para ulama yang hampir-hampir tak pernah tersentuh hujatan semacam syirik ataupun bid’ah dari pihak-pihak yang selalu menghakimi dan lantang menyalahkan para ulama dengan hujatan sejenis itu.
Mereka adalah tiga ulama termasyhur di kalangan para pembaharu pemikir Islam saat ini, yaitu Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah, Syaikh Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, dan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.
Sampainya Hadiah PahalaSejumlah isu keagamaan yang cukup sensitif selama ini, misalnya tentang sampainya pahala yang dihadiahkan oleh seorang yang masih hidup kepada mereka yang telah wafat, sebagaimana yang biasa dilakukan pada saat prosesi tahlil, talqin, atau ziarah, ternyata bukan saja tidak mendapat penentangan yang keras dari ketiga ulama rujukan para penentang keras prosesi-prosesi itu sendiri, tapi bahkan seakan mendapatkan legitimasi atas kebenaran pelaksanaannya.
Tengok saja pendapat Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah mengenai masalah itu, yang berada di pembahasan Pasal Kelima.
“Bacaan Al-Quran, sedekah, dan lainnya adalah amal kebaikan. Tidak terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama Ahlussunnah wal Jama’ah bahwa pahala ibadah harta seperti sedekah dan membebaskan hamba sahaya sampai kepada orang yang telah meninggal dunia, sama seperti sampainya doa, istighfar, shalat jenazah, dan doa di makam.
Terdapat perbedaan pendapat dalam masalah ibadah fisik seperti puasa, shalat, dan bacaan Al-Quran. Pendapat yang benar bahwa semua balasan pahalanya sampai kepada orang yang telah meninggal dunia.
Disebutkan dalam kitab Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim, dari Rasulullah SAW, beliau bersabda, ’Barang siapa meninggal dunia dan ia masih memiliki kewajiban puasa, walinya melaksanakan puasa untuknya.’
Juga disebutkan dalam hadits shahih bahwa ada seorang wanita yang ibunya meninggal dunia, sedangkan ibunya itu masih memiliki utang kewajiban berpuasa, maka Rasulullah SAW memerintahkan wanita itu agar berpuasa untuk ibunya.
Dalam kitab Al-Musnad disebutkan dari Rasulullah SAW, beliau berkata kepada ‘Amr bin Al-‘Ash, ‘Andai saja bapakmu masuk Islam, kemudian engkau bersedekah untuknya, atau berpuasa untuknya, atau engkau merdekakan hamba sahaya untuknya, pastilah itu berguna baginya’.” Demikian penuturan Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah dalam kitab Majmu’ Al-Fatawa, halaman 24/366-367.
Talqin Mayyit
Mayoritas masyarakat muslim Indonesia, bila memakamkan salah seorang saudaranya yang seagama, setelah mayyit selesai dimakamkan, dibacakan talqin mayyit. Sementara pihak menganggap bahwa pembacaan talqin merupakan perbuatan bid’ah dan sia-sia. Benarkah demikian?
Dalam buku ini, penulis mengutip pendapat Syaikh Ibnul Qayyim dalam kitabnya, Ar-Ruh, halaman 12-13: Tradisi yang biasa dilakukan kaum muslimin sejak zaman dahulu hingga saat ini, yaitu talqin mayat di kubur, jika mayat tidak dapat mendengar talqin tersebut dan talqin itu tidak bermanfaat baginya, tentulah talqin itu sia-sia.
Imam Ahmad pernah ditanya tentang talqin mayat dan beliau menganggapnya sebagai perbuatan baik dan boleh dilakukan. Ia meriwayatkan hadits tentang talqin. Disebutkan oleh Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam, dari hadits Abu Umamah, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, ”Apabila salah seorang di antara kalian meninggal dunia, saat kalian meratakan tanah kuburannya, hendaklah salah seorang di antara kalian berdiri pada bagian kepalanya dan mengucapkan, ’Wahai Fulan bin Fulanah’. Sesungguhnya ia mendengarnya, tetapi ia tidak menjawab.
Kemudian katakanlah, ’Wahai Fulan bin Fulanah’ untuk yang kedua kali. Maka ia pun duduk.
Kemudian katakanlah, ’Wahai Fulan bin Fulanah’. Ia berkata, ’Bimbinglah kami, semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu’. Tetapi kamu tidak bisa mendengarnya.
Katakanlah, ’Ingatlah apa yang engkau bawa ketika keluar dari dunia, kesaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah. Sesungguhnya engkau rela Allah menjadi Tuhanmu, Islam menjadi agamamu, Muhammad menjadi nabimu, dan Al-Quran menjadi imammu’.”
Meskipun hadits ini bukan hadits shahih, talqin telah dilaksanakan secara terus-menerus di berbagai negeri dan setiap zaman, tanpa ada yang mengingkarinya. Itu sudah cukup dijadikan sebagai pedoman untuk mengamalkannya. Allah SWT telah menjadikannya sebagai tradisi, umat Islam telah melaksanakannya dari timur hingga barat belahan bumi.
Kaum muslimin adalah umat yang paling sempurna akalnya dan paling memiliki ilmu pengetahuan, apakah masuk akal jika kaum muslimin berbicara kepada orang yang tidak dapat mendengar dan tidak berpikir?!
Umat Islam telah menjadikan talqin sebagai tradisi yang baik, tidak ada yang mengingkarinya. Bahkan talqin mayat itu tradisi yang telah dilakukan kaum muslimin generasi awal yang kemudian dilanjutkan generasi belakangan. Kaum muslimin generasi belakangan mengikuti tradisi kaum muslimin generasi terdahulu.
Andai mayat itu tidak bisa mendengar talqin, tentulah kalimat yang dibaca itu seperti kalimat yang ditujukan kepada tanah, kayu, dan batu....”
Ziarah Kubur
Menjelang datangnya Ramadhan, sudah menjadi tradisi bagi umat Islam untuk mengunjungi makam-makam keluarganya atau kalangan orang-orang shalih. Aktivitas mengunjungi makam itu biasa disebut dengan istilah ziarah. Di lain pihak, aktivitas ziarah sering kali mendapat kecaman dan tuduhan-tuduhan yang cukup keras, misalnya tuduhan bid’ah atau syirik, atau yang sejenisnya.
Bagaimana pandangan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, tokoh sentral paham Wahhabi, mengenai ziarah? Berikut kutipan komentar Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dalam kitab Ahkam Tamanni Al-Maut, halaman 46-47, yang dikutip dalam buku susunan Faishal Murad Ali Ridha pada pembahasan Pasal Kedua:
Diriwayatkan dari Abu Hurairah dan Aisyah, disebutkan oleh Imam Ahmad dan Al Hakim dari Aisyah, ia berkata, ”Aku masuk ke lokasi makam Rasulullah SAW dan Abu Bakar, aku meletakkan pakaianku, aku katakan, mereka adalah bapakku dan suamiku. Ketika Umar dimakamkan bersama dengan mereka, aku masuk ke makam mereka dengan pakaian tertutup rapat, karena malu kepada Umar.”
Disebutkan oleh Imam Al-Baihaqi dan Al-Hakim, dari Abu Hurairah (hadits marfu’), Rasulullah SAW bersabda, ”Aku bersaksi bahwa kamu hidup di sisi Allah SWT, maka ziarahilah mereka dan ucapkanlah salam kepada mereka. Demi Yang jiwaku berada di tangan-Nya, setiap orang yang mengucapkan salam kepada salah seorang dari mereka, ruhnya dikembalikan hingga hari Kiamat.” Kalimat ini ditujukan kepada Mush’ab bin ‘Umair dan para sahabatnya.
Diriwayatkan dan dinyatakan shahih oleh Al-Hakim, dari Abdullah bin Abi Farwah, sesungguhnya Rasulullah SAW berziarah ke makam para syuhada’ Uhud, beliau berkata, ”Ya Allah, sesungguhnya hamba-Mu dan nabi-Mu bersaksi bahwa mereka itu adalah para syuhada’. Sesungguhnya siapa yang berziarah dan mengucapkan salam kepada mereka hingga hari Kiamat, mereka pasti membalasnya.”
Menyikapi Perbedaan
Faishal Murad Ali Ridha, penulis, yang berkebangsaan Arab Saudi, memang sengaja mengutip pendapat-pendapat para ulama rujukan kalangan pembaharu itu yang berkaitan khusus tentang kondisi orang-orang yang telah meninggal dunia. Sebagaimana yang ia katakan sendiri dalam kata pengantarnya, itu dilakukannya untuk menghilangkan sesuatu yang mengambang di pikiran kaum muslimin, sikap ragu, bimbang, dan pemahaman keliru tentang kondisi dan perkara-perkara yang berkaitan dengan orang-orang yang telah meninggal dunia.
Beredarnya buku ini diharapkan dapat membuat sementara kalangan yang masih ”gemar” mensyirikkan, membid’ahkan, dan mengkafirkan orang lain, mendapat informasi yang berimbang, sehingga dapat mengetahui bahwa perselisihan adalah hal yang wajar, misalnya pada masalah doa terhadap orang yang sudah meninggal dunia atau yang berhubungan dengan tata cara penguburan, seperti yang tertuang dalam buku ini, yang semestinya tidak disikapi dengan fatwa atau tuduhan yang berlebihan.
Harapan penerjemah, umat dapat lebih bijak menyikapi segala perselisihan dan perbedaan pendapat, minimal dapat mengubah sikap. Karena, bahkan para tokoh panutan di atas pun tidak selantang para pengikut mereka dalam berfatwa.
Terakhir, sebagaimana yang juga dikatakan oleh penerjemah, hanya dengan cara saling menghormati pendapat, kita bisa menjalin persatuan umat. Tebarkan salam sesuai perintah Nabi SAW dan beri saudaramu senyuman manis, agar kita dapat hidup lebih rukun. Hingga pada akhirnya, setan akan sedih melihat kita hidup dalam kebersamaan, karena tugas utama setan adalah menebarkan permusuhan di tengah-tengah umat.
Semoga buku ini bermanfaat untuk kita semua.

Tidak ada komentar: