Berbicara mengenai akar sejarah pendidikan Islam di Indoensia tidak bisa dilepaskan dari pesantren. Karena Pesantren dianggap sebagai sistem pendidikan asli Indonesia (Haedari Amin, 2007: 34) sekalipun demikian informasi-informasi lain membuktikan bahwa sistem pendidikan pesantren , madrasah, merupakan adaptasi dari sistem pendidikan yang telah dikembangkan sebelumnya. Satu informasi mengatakan bahwa, pesantren, madrasah dan sekolah Islam seperti dikemukakan pendapat pertama yaitu merupakan kelanjutan dan penyempurnaan dari praktik pendidikan pra-Islam atau masa kekuasaan Hindu Budha, Nurcholis Madjid setuju dengan pendapat ini. Sebagaimana disebutkan bahwa pesantren memiliki hubungan historis dengan lembaga pendidikan pra-Islam yang sudah ada sejak masa kekuasaan Hindu Budha, lalu Islam meneruskan dan meng-Islamkannya (Haedari Amin, 2007: 34).
Dari penamaan pesantren sendiri terkait dengan terminologi yang ada di kalangan Hindu. Kata pesantren berakar dari kata santri dengan awalan ”pe” dan akhiran ”an”. Menurut C.C.Berg istilah tersebut berasal kata India Shastri, berarti orang-orang yang tahu buku-buku suci Agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab suci Agama Hindu. Kata Shastri sendiri berasal dari kata shastra yang berarti buku-buku suci, buku-buku Agama atau pengetahuan. Pendapat kedua menyatakan bahwa pesantren memiliki hubungan historis dengan Timur Tengah. Terkait dengan pengaruh Timur Tengah ini sudah banyak yang membuktikan terutama mereka yang melakukan ibadah haji di Mekah dan Madinah. Mekah dan Madinah bagi ulama Indonesia tidak semata tempat untuk melakukan ibadah haji tetapi tempat untuk mencari ilmu, terutama dengan menghadiri pengajian di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Adanya perbedaan pendapat ini tidak berarti pendapat satu yang benar, sementara pendapat lainnya salah. Kedua pendapat ini saling mengisi dan pesantren memang tidak bisa dilepaskan dari unsur-unsur Hindu yang sudah lebih awal ada di Indonesia dan unsur-unsur Islam Timur Tengah di mana Islam berasal (Haedari Amin, 2007: 34).
Bertitik tolak dari akar sejarah pesantren atau sebut saja asalusul pesantren tidak bisa dipisahkan dari sejarah pengaruh Walisongo abad 15-16 di Jawa. Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang unik di Indonesia. Walisongo adalah tokoh-tokoh penyebar Islam di Jawa abad 16 – 15 yang telah berhasil mengkombinasikan aspek-aspek sekuler dan spiritual dalam memperkenalkan Islam pada masyarakat. Keunikan yang dimaksud adalah hampir semua pesantren di Indonesia ini dalam mengembangkan pendidikan kepesantrenannya berkiblat pada ajaran Walisongo. Misal pondok pesantren Nahdlatul Wathan di Pancor Lombok Timur NTB yang saat ini santrinya lebih dari sepuluh ribu orang (Mas’ud Abdurrahman, 2002: 4) dan pondok pesantren yang lainnya yang tersebar di Pulau Jawa. Sedangkan Maksum menyebutkan bahwa akar sejarah atau asal usul lembaga pendidikan Islam misal madrasah adalah merupakan prestasi abad kelima Hijriyah. Madrasah-madrasah yang timbul dalam Islam, tidak dikenal pada masa-masa sahabat dan tabiin, melainkan sesuatu yang baru setelah 400 tahun sesudah Hijriyah (Maksum, 1999: 60)
Mengawali asal usul pesantren atau akar sejarah pesantren sama halnya dengan membahas sejarah madrasah dan sekolah Islam, karena ketiga lembaga pendidikan ini bernuansa religius atau dengan kata lain fokus studinya keagamaan di samping studi yang lain yang mendukung visi misi ketiga lembaga tersebut juga menjadi program pembelajarannya.
Perkembangan dari pesantren ke madrasah muncul pada awal abad 20, sebagai akibat dari kurang puas terhadap sistem pesantren ( waktu itu ) yang dianggap sempit dan terbatas pada pengajaran ilmu fardlu ’ain (Mas’ud Abdurrahman, 2002: 241) , terdapat dua hal yang melatar belakangi tumbuhnya sistem madrasah di Indonesia, pertama adalah faktor pembaharuan Islam dan kedua respon terhadap politik pendidikan Hindia Belanda. Kemunculan dan perkembangan madrasah tidak bisa dilepaskan dari gerakan pembaharuan Islam dan kemudian dikembangkan oleh organisasi-organisasi Islam baik di Jawa , Sumatera maupun Kalimantan. Oleh karena itu pendidikan dipandang sebagai aspek strategis dalam membentuk pandangan keislaman masyarakat . Dalam kenyataannya , pendidikan yang terlalu berorientasi pada ilmu-ilmu agama ubudiyyah, sebagaimana ditunjukkan dalam pendidikan di masjid, surau dan pesantren, pandangan keislaman masyarakat agaknya kurang memberikan perhatian kepada masalah-masalah sosial, politik, ekonomi dan budaya, untuk melakukan pembaharuan terhadap pandangan dan tindakan masyarakat itu langkah strategis yang harus ditempuh adalah memperbaharui sistem pendidikannya.
Para ahli dimana pun juga, sepakat bahwa sistem pendidikan yang terkait perlu diperbaharui secara berkesinambungan, atas pemahaman tersebut pakar pendidikan mengambil langkahlangkah menuju perbaikan sistem pendidikan tradisional menuju sistem pendidikan modern yang dilengkapi dengan pola manejemen sebagai standar mutu. Bagi masyarakat luas, dengan tujuan supaya madrasah tidak dianggap sebagai salah satu pendidikan yang “bercirikan” tradisional, sehingga kiat-kiat untuk menepis anggapan masyarakat tersebut di atas diperlukan manajemen yang tertata dalam sistem pendidikan modern. oleh Sri Haningsih (http://journal.uii.ac.id)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar